Negara Tak Gentar Dikritik: Demokrasi Butuh Suara Berbeda

- Created May 26 2025
- / 5585 Read
Pemerintah kembali menegaskan komitmennya terhadap prinsip keterbukaan, khususnya dalam menghadapi kritik dan pandangan yang berbeda di ruang publik. Pernyataan ini menjadi sorotan setelah muncul dugaan intimidasi terhadap penulis opini di media daring Detik.com, yang sempat mengkritisi pengangkatan Letjen TNI (Purn.) Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Opini berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?” sempat tayang di kanal opini Detikcom, namun belakangan diketahui telah dihapus atas permintaan penulis dengan alasan keamanan pribadi setelah mengalami tekanan yang diduga berasal dari pihak tak dikenal.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menanggapi hal ini dengan menegaskan bahwa pemerintah sama sekali tidak mempermasalahkan opini atau kritik terhadap kebijakan dan keputusan yang diambil oleh negara. Bahkan, menurut Hasan, publik termasuk kalangan akademisi dan masyarakat sipil sangat berhak menyampaikan kritik melalui berbagai media sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Dalam konteks opini yang dihapus tersebut, Hasan menyatakan bahwa pemerintah menyarankan agar Detik.com mengunggah kembali tulisan tersebut sebagai bukti bahwa ruang kebebasan berekspresi tetap dijamin dan dihargai.
Lebih lanjut, Hasan mendorong penulis untuk tidak tinggal diam atas dugaan intimidasi yang diterima, termasuk tindakan membahayakan seperti diserempet dan ditabrak oleh orang tidak dikenal. Ia meminta agar dugaan tersebut segera dilaporkan kepada aparat penegak hukum agar dapat diusut tuntas secara objektif dan terang benderang. Pemerintah, tegasnya, menjunjung tinggi perlindungan terhadap kebebasan sipil, namun juga menyerahkan penyelidikan setiap dugaan pelanggaran hukum kepada otoritas berwenang agar tidak menjadi spekulasi sepihak yang bisa mencemari semangat demokrasi itu sendiri.
Sikap terbuka pemerintah terhadap kritik bukanlah sesuatu yang baru. Dalam berbagai kesempatan, Presiden maupun jajaran Istana telah menyampaikan bahwa kritik, masukan, bahkan ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah adalah bagian penting dalam sistem pemerintahan demokratis. Oleh karena itu, kritik melalui media, forum publik, atau kanal digital bukan hanya diperbolehkan, tetapi dianggap sebagai kontribusi dalam membentuk tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Kasus opini yang sempat menuai kontroversi ini mencuat setelah penulisnya mengaku mendapat tekanan fisik berupa tindakan penguntitan dan kekerasan jalanan. Penulis bahkan melaporkan adanya peristiwa penyerempetan oleh sepeda motor berhelm full face yang diduga sebagai bentuk intimidasi. Menanggapi kondisi tersebut, redaksi Detikcom mengambil keputusan untuk menghapus tulisan tersebut berdasarkan permintaan langsung dari sang penulis demi mempertimbangkan aspek keselamatan pribadi. Namun langkah ini justru memunculkan diskusi lebih luas tentang relasi antara media, kebebasan berpendapat, dan jaminan perlindungan terhadap penulis maupun jurnalis di Indonesia.
Dewan Pers sebagai lembaga independen juga memberikan pernyataan keras atas dugaan intimidasi tersebut. Mereka mengecam segala bentuk kekerasan terhadap insan pers, termasuk penulis opini, dan menyerukan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan cepat dan tegas. Dewan Pers menilai bahwa tindakan kekerasan, sekecil apa pun bentuknya, merupakan ancaman langsung terhadap kemerdekaan pers dan hak publik untuk mengetahui informasi yang relevan dalam kehidupan bernegara.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa hingga saat ini belum ada informasi pasti tentang siapa pihak yang melakukan tindakan intimidasi tersebut. Pemerintah menilai penting untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa insiden itu merupakan bentuk pembungkaman oleh negara. Hasan Nasbi dalam pernyataannya mengingatkan publik agar bersikap adil dengan menunggu proses hukum berjalan dan memberikan kesempatan kepada aparat untuk menyelidiki siapa pelaku sebenarnya dan apa motifnya.
Dalam konteks pengangkatan Djaka Budi Utama sebagai Dirjen Bea Cukai, pemerintah menekankan bahwa prosesnya telah sesuai aturan. Djaka mengundurkan diri dari dinas aktif militer pada 2 Mei 2025, dan surat pemberhentian dari Presiden terbit pada 6 Mei 2025. Dengan demikian, status Djaka adalah purnawirawan, dan ia ditetapkan sebagai pejabat sipil melalui mekanisme pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Penunjukannya dinilai sebagai bagian dari strategi memperkuat koordinasi antara Kementerian Keuangan dan aparat penegak hukum dalam rangka meningkatkan pengawasan perdagangan, mencegah kebocoran penerimaan negara, dan menindak praktik ilegal.
Narasi bahwa pemerintah anti kritik, menurut Hasan, adalah asumsi yang tidak memiliki dasar kuat. Ia menyebut bahwa banyak tokoh masyarakat dan akademisi yang secara terbuka memberikan kritik dan tetap mendapat ruang di media tanpa gangguan. Justru, lanjutnya, dalam negara demokrasi, kehadiran kritik menunjukkan bahwa sistem pengawasan sosial berfungsi dengan baik. Namun, perlu dibedakan secara jelas antara kritik yang konstruktif dengan tuduhan yang tidak berdasar atau manipulatif, karena yang terakhir justru bisa menciptakan polarisasi dan menurunkan kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri.
Hasan juga menyampaikan bahwa Kantor Komunikasi Kepresidenan terbuka terhadap diskusi langsung dengan media, akademisi, dan masyarakat sipil untuk menjelaskan kebijakan pemerintah secara utuh. Upaya ini dilakukan guna mencegah disinformasi yang dapat memperkeruh ruang dialog publik. Pemerintah, menurutnya, tidak akan menempuh jalur represif terhadap kritik, melainkan terus mendorong edukasi politik yang sehat, kritis, dan bertanggung jawab.
Dalam praktiknya, kritik terhadap pengangkatan pejabat sipil dari latar belakang militer bukan kali pertama terjadi. Perdebatan serupa pernah muncul dalam sejarah kontemporer Indonesia, dan selalu menjadi bagian dari diskursus demokrasi yang sah. Namun yang tidak sah adalah jika opini atau kritik dijawab dengan tindakan intimidatif, baik dari aparat, kelompok kepentingan, maupun individu anonim. Karena itu, penting untuk membedakan antara sikap negara secara institusional dan tindakan perorangan yang belum tentu mendapat restu atau arahan resmi.
Oleh karena itu, dalam menanggapi isu ini, publik diharapkan untuk tetap tenang dan bersikap kritis. Pemerintah menyambut baik kritik, termasuk dari kalangan pers dan akademisi, namun mengajak semua pihak untuk menyelesaikan dugaan intimidasi ini melalui jalur hukum, bukan spekulasi yang memperkeruh suasana. Perlindungan terhadap penulis, jurnalis, dan aktivis harus menjadi prioritas bersama, dan negara memiliki kewajiban untuk menjamin keamanan dan kebebasan berekspresi seluruh warganya.
Dengan demikian, kasus ini sejatinya bukan menjadi indikator bahwa pemerintah anti kritik, tetapi lebih menunjukkan tantangan dalam memastikan kebebasan berekspresi tetap berjalan berdampingan dengan rasa aman dan tanggung jawab. Kritik tetap menjadi fondasi demokrasi, dan pemerintah Indonesia, melalui berbagai pernyataan resminya, menunjukkan bahwa ruang untuk itu masih terbuka lebar.
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First